A.
TEORI
PEMECAHAN MASALAH POLYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Polya layak disebut matematikawan paling
berpengaruh pada abad 20. Riset mendasar yang dilakukan pada bidang analisis
kompleks, fisika matematikal, teori probabilitas, geometri dan kombinatorik
banyak memberi sumbangsih bagi perkembangan matematika. Sebagai seorang guru
yang piawai, minat mengajar dan antusiasme tinggi tidak pernah hilang sampai
akhir hayatnya. Semasa di Zurich-pun, karya-karya di bidang matematika sangat
beragam dan produktif. Tahun 1918, mengarang makalah tentang deret, teori
bilangan, sistem voting dan kombinatorik. Tahun berikutnya, menambah dengan
topik-topik seperti astronomi dan probabilitas. Meskipun pikiran sepenuhnya
ditumpahkan untuk topik-topik di atas, namun Polya mampu membuat hasil
mengesankan pada fungsi-fungsi integral.Tahun 1933, Polya kembali mendapatkan
Rockefeller Fellowship dan kali ini dia pergi ke Princeton. Saat di Amerika,
Polya diundang oleh Blichfeldt untuk mengunjungi Stanford yang menarik
minatnya. Kembali ke Zurich pada tahun 1940, namun situasi di Eropa – menjelang
PD II, memaksa Polya kembali ke Amerika. Bekerja di universitas Brown dan Smith
College selama 2 tahun, sebelum menerima undangan dari Stanford yang
diterimanya dengan senang hati. Sebelum meninggalkan Eropa, Polya sempat
mengarang buku How to Solve It yang ditulis dalam bahasa Jerman. Setelah
mencoba menawarkan ke berbagai penerbit akhirnya dialihbahasakan ke dalam
bahasa Inggris sebelum diterbitkan oleh Princeton. Buku ini ternyata menjadi
buku best seller yang terjual lebih dari 1 juta copy dan kelak dialihbahasakan
ke dalam 17 bahasa. Buku ini berisikan metode-metode sistematis guna menemukan
solusi atas problem-problem yang dihadapi dan memungkinkan seseorang menemukan
pemecahannya sendiri karena memang sudah ada dan dapat dicari.
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah
sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu
tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai, sedangkan menurut Utari
(1994) dalam (Hamsah 2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah dapat berupa
menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan di dalam
pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus,
istilah tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda, misalnya menyelesaikan
soal cerita yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan
sehari-hari.
Polya(1985) mengajukan empat langkah fase
penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian,
menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah
dikerjakan.
Fase memahami masalah tanpa adanya pemahaman
terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin menyelesaikan masalah
tersebut dengan benar, selanjutnya para siswa harus mampu menyusun rencana atau
strategi.
Penyelesaian masalah, dalam fase ini sangat
tergantung pada pengalaman siswa lebih kreatif dalam menyusun penyelesaian
suatu masalah, jika rencana penyelesaian satu masalah telah dibuat baik
tertulis maupun tidak. Langkah selanjutnya adalah siswa mampu menyelesaikan
masalah, sesuai dengan rencana yang telah disusun dan dianggap tepat. Dan
langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut Polya adalah
melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan. Mulai dari fase pertama hingga
hingga fase ketiga. Dengan model seperti ini maka kesalahan yang tidak perlu
terjadi dapat dikoreksi kembali sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang
benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan.
Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus
disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Hasil penelitian Driscol (1982),
pada anak usia 10 sekolah dasar kemampuan pemecahan masalah erat sekali
hubungannya dengan pemecahan masalah. Disadari atau tidak setiap hari kita
diperhadapkan dengan berbagai masalah yang dalam penyelesaiannya, sering kita
diperhadapkan dengan masalah–masalah yang pelik dan tidak bisa diselesaikan
dengan segera. Dengan demikian, tugas guru adalah membantu siswa dalam
menyelesaikan masalah dengan spektrum yang luas yakni membantu siswa dalam
memehami masalah, sehingga kemampuan dalam memahami konteks masalah bisa terus
berkembang menggunakan kemampuan inquiri dalam menganalisa alasan mengapa
masalah itu muncul. Dalam matematika hal seperti itu biasanya berupa pemecahan
masalah yang di dalamnya termuat soal cerita untuk mengembangkan kemampuan siswa.
Dalam pemecahan masalah hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut
berbagai hal teknik dan strategi pemecah masalah. Pengetahuan,
keterampilan dan pemahaman merupakan elemen–elemen penting dalam belajar
matematika. Terkadang guru menghadapi kesulitan dalam mengajarkan cara
menyelesaikan masalah dengan baik. Sementara dipihak lain siswa mengalami
kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan guru, kesulitan ini
muncul, karena mencari jawaban dipandang sebagai satu-satunya tujuan yang ingin
dicapai, karena hanya terfokus pada jawaban.
Pemecahan
masalah adalah suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir.
Polya (Schoenfeld, 1980) dalam bukunya How to Solve It pertama kali mengenalkan
4 langkah dalam pemecahan masalah yang disebut Heuristik. Strategi berpikir
pemecahan masalah menurut Polya dijadikan sebagai model umum strategi pemecahan
masalah. Sementara pengembangannya memuat langkah yang lebih rinci dan spesifik, yaitu Heuristik.
Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum
yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Berbeda dengan
algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu
digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara Heuristik tidak
menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika
langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik
tidak menuntut langkah berurutan.
Kajian tentang pemecahan masalah dan
pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari peran heuristik sebagai strategi
dalam proses pemecahan masalah. Membelajarkan pemecahan masalah dapat berarti
pula mengajarkan cara berpikir secara heuristik yang memuat langkah lebih
rinci. Langkah-langkah itu dapat dipelajari oleh atau diajarkan kepada siswa
dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan memecahkan masalah dapat ditunjukkan
melalui penguasaan terhadap heuristiknya.
1. Polya
menyarankan heuristik, dimana pada heuristik yang terakhir, looking back (Polya
1975) hanya menguji jawab dan menggunakan hasil yang diperoleh untuk
menyelesaikan soal lain.Oleh karena pada saat menyelesaikan soal itu mereka
sedang termotivasi kemudian senang dengan hasil yang dicapai, maka rasa senang
dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan, dengan memberikan tugas baru
kepada siswa, yaitu : “Menyelesaikan soal itu dengan cara yang lain”,
“Mengajukan pertanyaan ... bagaimana jika”, “Apa yang salah”, dan “Apa yang
akan kamu lakukan”( Krulik dan Rudnick , 1999).Menyelesaikan masalah dengan
cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan sengaja atau
tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan
berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain itu, hal ini amat
direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam matematika saling terkait,
dan kemampuan koneksi matematika siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk
dikembangkan. Hal ini mencerminkan juga kekayaan matematika, dan dapat diharapkan
menimbulkan kekaguman atau apresiasi siswa (disposisi) terhadap matematika.
Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya
menuntut dan melatih siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan
pengetahuan serta pengalaman yang ada pada mereka.
2. Mengajukan
pertanyaan “...bagaimana jika” sesungguhnya memberi peluang untuk siswa kreatif
dalam menciptakan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi
diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau
dikurangi. Soal ini juga dapat merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka
harus menganalisisnya. Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis,
untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat
mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal
yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
3. “Apa
yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan
kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka
disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan
apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan
kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah ,
mengapa salah.
4. “Apa yang akan kamu lakukan” termasuk suatu
pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya
kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada
ide individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi
kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea
mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya.[1]
B. ABRAHAM MASLOW TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK
Dalam psikologi terdapat
tiga revolusi yang mempengaruhi pemikiran personologi modern. Salah satunya
psikologi humanistik, sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran
manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari psikoanalisis dan
behaviorisme, yakni berupa gambaran manusia sebagai makhluk yang bebas dan
bermartabat serata selalu bergerak ke arah pengungkjapan segenap potensi yang
dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.
Yang menjadi pimpinan atau
bapak dari psikolagi humanistik adalah Abraham Maslow. Disamping karena
kepemimpinannya , Maslow dihadirkan karena teorinya yang komprehensif, dan
sangat jelas mencerminkan teori humanistik mamiliki pengaruh besar terhadap
pemikiran modern mengenai tingkah laku manusia.
Abraham Harold Maslow
dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 1 April 1908. Maslow
memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme
Watson, bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik, dan
dengan mengikuti program-program yang diadakan Watson, Maslow berharap dirinya
bisa mengubah dunia. Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan
memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin
(1930-1934), dan sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian Maslow menjadi
staf peneliti di Universitas columbia sampai tahun 1937.di kota ini ia bertemu
dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa yang melarikan diri ke Amerika Serikat
karena penindasan Hitler. Percakapan-percakapan informasi dan pertukaran
pengalaman dengantokoh-tokoh tersebut memegang peranan penting dalam
pembentukan pemikiran landasan humanistik Maslow. Selaini itu, kehadiran aknya
yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap behaviorisme.
Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukan anaknya membuat Maslow berpikir
bahwa behaviorisme lebih cocok memahami tikus dari pada manusia.
Pada tahun 1951 Maslow
menerima jabatan kapala departemen psikologi Universitas Brandeis, yang
dipegangnya sampai tahun 1961. Selama periode ini Maslow menjadi juru bicara
utama bagi gerakan psikologi di Amerika Serikat.pada tahun 1969 Maslom
meninggalakan Brandeis dan menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menlo Park,
California. Jabatan non akademis ini mendorong Maslow untuk secara bebas
mencurahkan minatnya kepada masalah-masalah filsafat politik dan etika.
Sebagian besar buku-buku
Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, yang meliputi
buku-buku Toward a Psychology of Being (1962),
Religious and Peak Experiences (1964),
Eupsychian Management: A Journal (1965),
The Psychology of Science: A Reconnaisance
(1966), Motivation and Personality (1970),
dan The Father Reaches of Humans natures,
sebuah buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia
meninggal
1
EKSISTENSIALISME DAN PSIKOLOGI
HUMANISTIK
Istilah psikologi humanistik dikenalkan oleh sekelompok ahli
psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama dibawah kepemimpinan
Maslowdalam mencari alternatif dari dua teori yang sanagat berpengaruh atas
pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah
psikoanalisa dan behaviorisme. Psikologi humanistik sesungguhnya bukan suatu
organisasi tunggal dari teori atau sistem, melainkan lebih tepat jika disebut
sebagai gerakan. Maslow sendiri menyebut psikologi humanistik yang dipimpinnya
sebagai “kekeuatan ketiga” (a third force). Dan meskipun tokoh-tokoh gerakan
ini memiliki pandanagan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi
fundamental yang sama mengenai manusia, yang berkarakter pada salah satu aliran
filsafat modern, yakni eksistensialisme.
Eksistensialisme dengan sejumlah tokohnya adalah sebuah
aliran filsafat yang mempersalahkan manusia sebagai problema yang unik dengan
keberadaannya. Manusia menurut eksistensialisme adalah hal yang
mengada-dalam-dunia (being-in-the-word), dan menyadari penuh akan
keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia
semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para dilusuf
eksistensialisme percaya bahwa setiap individu bebas untuk memilih tindakan,
menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab
atas pilihan dan keberadaannya itu.
Oleh karena itu eksistensialisme menarik bagi para psikologi
humanistik. Para ahli psikologi humanistik pun menekan bahwa individu adlaah
penentu bagi tingkah laku dan pengalamannya sendiri. Manusia adlah agen yang
sadar, bebas memilih atau menentukan setiap tindakannya.
Konsep penting lainnya yang diambil oleh psikologi humanistik
dari eksistensialisme iru adalah konsep kemenjadian (becoming). Menurut konsep
ini, manusia tidak pernah diam, tetapi selalu dalam proses untuk menjadi
sesuatu yang lain dari sebelumnya. Tetapi bagaimanapun, perubahan itu terjadi
apabila lingkungan memungkinkan. Dengan menempatkan nilai yang tinggi pada
kemenjadian, para ahli psikologi humanistik mengingatkan bahwa pencapaian
kehidupan yang penuh dan memuaskan itu tidaklah mudah. Kesulitan itu terutama
dialami individu-individu akibat adanya perubahan dan hambatan kultural.
Eksistensialisme dan psikologi humanistik melihat kesulitan yang
demikiansebagai tantangan bagi kita untuk bertindak dengan cara yang sejati
dalam arti, bahwa kita harus membuat pilihan-pilihan tanpa mengabaikan potensi
atau kemungkinan-kemungkinan yang kita miliki.
2
AJARAN-AJARAN DASAR PSIKOLOGI
HUMANISTIK
a.
Individu Sebagai Keseluruhan Yang
Integral
Salah satu aspek yang fundamental dari psikologi humanistik
adalah ajarannnya bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai
keseluruhan yang integral, khas dan terorganisasi. Berbeda dengan behaviorisme
maupun teori atau aliran lain yang elementalistik Maslow mengembangkan teorinya
dengan bertumpu pada prinsip holistik, suatu prinsip yang berasal dari
psikologi gestalt. Dalam teori Maslow dengan prinsip holostiknya itu, motivasi
mempengaruhi individu secara keseluruhan, dan bukan secara bagian.
b.
Ketidakrelevanan Penyelidikan dengan
Hewan
Psikologi humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan
yang mendasar antara tingkah laku manusia dan tingkah laku hewan. Ini
bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan tingkah laku
hewan dalam upaya memahami tingkah laku manusia. Maslow dan para teoris
kepribadian humanistik umumnya memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda
dengan hewan apapun. Maslow menegaskan bahwa penyelidikan dengan hewan tdak
relevan bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal itu mengabaikan
ciri-ciri khas manusia seperti adanya gagasan, rasa malu, cinta, nilai, humor,
dan sebagainya, yang dengan ciri-ciri tersebut manusia bisa menciptakan puisi,
musik, pengetahuan, pekerjaan dan lain-lain. Dan yang paling berarti dari
perspektif humanistik tentang usaha memahami manusia itu adalah fakta bahwa
tidak ada ahli kepribadian tikus, merpati, kera, atau lumba-lumba. Yang ada
adalah ahli kepribadian manusia, dan hanya manusialah yang petut dijadikan
subjek pemahaman tingkah laku manusia.
c.
Pembawaan Baik Manusia
Psikologi humanistik memiliki anggapan, bahwa manusia itu
pada dasarnya adalah baik, atau tepetnya netral. Menurut perspektif humanistik,
kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil dari
lingkungan buruk, dan bukan bawaan.
d.
Potensi Kreatif Manusia
Pengutamaan kreatifitas manusia merupakan salah satu prinsip
yang penting dari psikologi humanistik. Maslow menemukan bahwa pada orang-orang
yang ditelitinya itu terdapat satu ciri yang umum,yakni kreatif. Maslow juga
menemukan bahwa kebanyakan orang yang kehilangan kreatifitasnya akan menjadikan
mereka “tak berbudaya”. Maslow
mengingatkan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang itu tidak perlu memiliki
bakat atau kemampuan khusus. Menurut Maslow, kreatifitas itu tidak lain adalah
kekuatan yang mengarahkan manusia kepada pengekspresian dirinya.
e.
Penekanan pada Kesehatan Psikologis
Maslow secar konsisten beranggapan bahwa tidak ada satupun
pendekatan psikologis yang mempelajari manusia dengan bertumpu pada
fungsi-fungsi manusia seperti cara dan tujuan hidupnya yang sehat. Psikologi
humanistik memandang self-fulfillment sebagai
tema yang utama dalam hidup manusia, suatu tema yang tidak akan ditemukan pada
teori-teori lain yang berlandaskan studi atas individu-individu yang mengalami
gangguan.
3.
TEORI KEBUTUHAN BERTINGKAT
Maslow (1970) menggambarkan manusia sebagai makhluk yang
tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia, kepuasan itu
sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka
kebutuhan-kebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut pemuasan, begitu
seterusnya. Berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa
kebutuhan pada manusia merupakan bawaan, tersusun menurut tingkatan atau
bertingkat. Oleh Maslow kebutuhan yang bertingkat itu dirinci kedalam lima
tngkat kebutuhan, yakni:
a.
Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis
b.
Kebutuhan akan rasa aman
c.
Kebutuhan akan cinta dan memiliki
d.
Kebutuhan akan rasa arga diri
e.
Kebutuhan akan aktualisasi diri
Dalam pandangan Maslow, susunan kebutuhan-kebutuhan dasar
yang bertingkat itu merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia.
Semakin individu itu mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang tinggi, maka
individu itu akan semakin mampu mencapai individualitas, matang dan berjiwa
sehat. Secara umum kebutuhan yang lebih rendah pemuasannya lebih mendesak dari
pada kebutuhan yang lebih tinggi.
4.
MOTIF KEKURANGAN DAN MOTIF PERTUBUHAN
Maslow (1955) membagi motif-motif anusia kedalam dua
kategori, yakni motif kekurangan (deficit motive) dan motif pertumbuhan (growth
motive). Motif kekurangan menyangkut kebutuhan fisiologis dan rasa aman.
Sasaran utama dari motif-motif kekurangan adalah mengatasi peningkatan tekanan
organismik yang dihasilkan oleh keadaan kekurangan. Ciri-ciri dari motif
kekurangan adalah:
a.
Ketiadaan pemuasnya membuat sakit
b.
Adanya atau kehadiran pemuasnya
mencegah sakit
c.
Perbaikan atau pengadaan pemuasnya
menyembuhkan sakit
d.
Dibawah kondisi memilih, pemenuhan
motif kekurangan akan diutamakan
e.
Motif-motif kekurangan tidak begitu
dominan pada orang sehat
Motif-mitif pertumbuhan (oleh Maslow disebut juga metaneeds atau being motives) adalah motif-motif yang mendorong individu untuk
mengutamakan potensi-potensinya. Arah dari motif pertumbuhan ini adalah
memperkaya kehidupan dengan memperbanyak belajar dan pengalaman, juga memberi
semangat hidup.
Maslow (1967) mengemukakan bahwa motif-motif pertumbuhan pada
manusia adalah naluriah dan inheran. Motif-motif pertumbuhan juga harus
dipuaskan apabila kesehatan psikologis ingin terpelihara dan perkembangan
maksimal ingin tercapai. Jika tidak terpuaskan, maka individu akan “sakit”
secara psikologis. “Penyakit” yang muncul akibat tidak terpuaskannya
mitif-motif pertumbuhan oleh Maslow disebut metapatologi. Dibawah ini adalah
tabel dari motif-motif pertumbuhan dan bentuk-bentuk metapatologi yang mungkin muncul.
Motif pertumbuhan
|
Metapatologi
|
-
Kebenaran
|
-
Kehilangan kepercayaan, sinisme,
skeptisisme
|
-
Keindahan
|
-
Kekasaran, kehilangan rasa
keindahan, kesuraman
|
-
Keunikan
|
-
Kehilangan rasa percaya diri dan
individualiatas
|
-
Kesempurnaan
|
-
Ketidakberdayaan, kekacauan, ketidakterkendalian
|
-
Keadilan
|
-
Ketidakadilan, egosentrisme,
sinisme
|
-
Semangat
|
-
Kehilangan semangat hidup, depresi
|
-
Kebajikan
|
-
Kebencian, kejijikan, pementingan
diri sendiri
|
-
Kesederhanaan
|
-
Keruwetan, kebingungan, kekalapan,
kehilangan orientasi
|
5.
VALIDITASI EMPIRIS ATAS TEORI
KEPRIBADIAN MASLOW
Sebagaimana yang dialami oleh psikoanalisa dan behaviorisme,
teori kepribadian humanistik, khususnya teori kepribadian Maslow, tidak luput
dari berbagai kritik. Dari pihak behaviorisme muncul serangan terhadap psikologi
humanistik sehubungan dengan penggunaan konsep-konsep yang menurut para
behaviors, tidak jelas dan sulit diperiksa validitasnya secara empiris.
Khususnya terhadap teori Maslow, para behavioris itu mempersoalkan konsep
pengalaman subjektif berikut pengambilan data yang menyertainya, yakni metode
intropeksi. Mereka meyebut metode intropeksi yang digunakan oleh Maslow sebagai
metode yang lemah dari sudut metodologi ilmiah yang objektif. Tetapi
berdasarkan prinsipnya bahwa pengalaman subjektif itu merupakan data yang lebih
penting dari pada tingkah laku yang nampak, Maslow mempertahankan metode
intropeksi sebagai suatu metode yang layak digunakan dalam psikologi. Menurut
Maslow, seorang ahli psikologi kepribadian tidak akan bisa mendukung dan
mempercyai kegunaan metode intropeksi untuk memahami tingkah laku individu
sebelum dia berpikir dan percaya bahwa indiviu itu membuat laporan mengenai
tingkah lakunya secara sadar dan rasional.
Bagaimanapaun kritik-kritik yang diterimanya, teori Maslow
tetap memperoleh perhatian empiris. Hal ini terbukti dari adanya beberapa usaha
untuk menguji beberapa konsep dari teori maslow.
Usaha-usaha untuk menguji dan membuktikan teori Maslow
terutama dipusatkan pada dua konsep, yakni konsep kebutuhan bertingkat dan
konsep aktualisasi diri. Perhatian dan usaha empiris hanya ditunjukan kepada
dua konsep tersebut karena keduanya telah memberi sumbangan yang besar
terhadapa psikologi dan teori kepribadian.
a.
Pengujian Atas Konsep Kebutuhan
Bertingkat
Konsep Maslow mengenai kebutuhan bertingkat telah
memperleh perhatian yang besar dalam penulisan-penulisan teoritis dan terapan.
Banyak studi yang telah dilakukan yang meliputi pengukuran kebutuhan-kebutuhan
dan dijabarkan oleh Maslow, tetapi sebagian besar peneliti yang berpegang pada
validitas teori, menggunakan pengukuran hanya untuk menguji soal-soal lain.
Dengan sedikit pengecualian, dukungan empiris bagi
konsep kebutuhan bertingkat Maslow itu datang dari studi mengenai
kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Dukungan lain bagi
validitas konsep kebutuhan Maslow itu datang dari penelitian organisasional.
Sebagai gambaran, Poter (1961) menemukan bahwa pimpinan perusahaan tingkat
tinggi lebih memperhatikan pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri dan
kebutuhan akan aktualisasi diri daripada manajer-manajer tingkat rendah.
Dal suatu pengujian empiris atas konsep kebutuhan
bertingkat dari Maslow, Graham dan Baloun (1973) mengajukan dua hipotesis.
Hipotesis pertama menyatakan bahwa taraf kepuasan suatu kebutuhan memiliki
korelasi yang negatif dengan keinginan untuk memuaskan kebutuhan tersebut.
Hipotesis kedua adalah pada dua kebutuhan yang berbeda tingkatannya, dorongan
pemuasan kebutuhan yang lebih rendah akan lebih besar daripada dorongan
pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi. Kedua hipotesis tersebut diuji melalui
pengambilan dan pengolahan data yang melibatkan subjek penelitian sebanyak 37
orang. Hasilnya adalah kedua hipotesis yang diajukan diterima, dan dengan
demikian dua aspek yang terdapat pada konsep kebutuhan bertingkat Maslow
terdukung secara empiris. Dua aspek yang dimaksud adalah:
a.
Apabila suatu kebutuhan telah
terpuaskan, maka individu pada saat tersebut tidak akan berusaha untuk
meneruskan pemuasannya, malainkan akan lebih berusaha memuaskan kebutuhan lain
yang lebih tinggi.
b.
Kebutuhan yang tingkatnya lebih
rendah pemuasannya lebih mendesak dan akan didahulukan oleh individu daripada
kebutuhan yang lebih tinggi (individu akan mendahulukan membeli makanan
daripada membeli baju)
b.
Pengukuran dan Alat Ukur Aktualisasi
Diri
Dalam studinya Maslow menguji ciri-ciri aktualisasi
pada 49 orang terkemuka yang ia anggap sebagai pribadi-pribadi yang ideal
menurut batasan kesehatan psikologis. Individu-individu yang dipelajari oleh
Maslow diambil dan diseleksi dari sejumlah orang yang terkemuka baik yang masih
hidup maupun yang sudah meninggal, juga dari kalangan mahasiswa. Mereka, menurut Maslow, adalah
orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang penuh, dan karenanya mereka mampu
mencapai kematangan yang sejati. Lebih dari itu, orang-orang yang menjadi
subjek penelitiannya itu tidak menunjukan kearah neurotik, psikotik, dan
gangguan-gangguan psikologis lainnya. Maslow membenarkan metode pemilihan
subjeknya yang oleh sementara peneliti dianggap lemah, dengan mengatakan:
“jika kita ingin memperoleh jawaban atau pertanyaan sampai seberapa
tinggi manusia bisa tumbuh, maka kita tentunya harus mengambil dan mengukur
orang yang paling tinggi. Jika kita ingin mengetahui sampai seberapa cepat
manusia bisa berlari, maka sebaiknya kita mengambil pelari pemenang mendali
emas Olimpiade untuk kita sellidiki. Jika kita ingin mengetahui
kemungkinan-kemungkinan dari pertumuhan spiritual, pertumbuhan nilai, dan
perkembangan moral pada manusia, maka jalan yang terbaik bagi kita adalah
mempelajari orang-orang yang paling beretika, paling bermoral atau orang-orang
suci.”
(Maslow, 1969)
Berpegang pada rasionalisasi diatas, Maslow
melaksanakan studinya lebih disandarkan kepada observasi ketimbang pengujian
hipotesis sehingga studi atau penelitian Maslow itu bersifat subjektif.
Maslow membagi subjek-subjek yang telah dipelajarinya
kedalam tiga kategori yakni, fairly sure
cases, partial cases, dan potential
or possible cases.
Kekurangan alat yang memadai untuk mengukur
aktualisasi diri pada mulanya menghalangi usaha-usaha untuk mengukur dan
mengesahkan pertanyaan-pertanyaan Maslow mengenai aktualisasi diri.tetapi
dengan dikembangkanya Personal
Orientation Inventory (POI) oleh Shostrom, sebagai pengukur aktualisasi
diri yang sahih (valid) dan andal (reliabel), penelitian empiris atas konsep
aktualisasi diri dari Maslow itu semakin meningkat.
6.
PENERAPAN AKTUALISASI DIRI SEBAGAI
CORAK HIDUP IDEAL
Ciri-ciri orang yang self-actualized
menurut Maslow diantaranya:
a.
Mengamati realitas secara efisien
b.
Penerimaan atas diri sendiri, orang
lain, dan kodrat
c.
Spontan, sederhana dan wajar
d.
Terpusat pada masalah
e.
Pemisahan diri dan kebutuhan privasi
f.
Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan
g.
Kesegaran dan apresiasi
h.
Pengalaman puncak atau pengalaman
mistik
i.
Minat sosial
j.
Hubungan antarpribadi
k.
Berkarakter demokratis
l.
Perbedaan antara cara dan tujuan
m.
Rasa humor yang filosofis
n.
Kreativitas
o.
Penolakan enkulturasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar