New Status
Hi! Welcome To My First Blog "Hardiati Rizki Amelia"

Senin, 05 Januari 2015

Teori Belajar (Polya dan Maslow)

       A.    TEORI PEMECAHAN MASALAH POLYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Polya layak disebut matematikawan paling berpengaruh pada abad 20. Riset mendasar yang dilakukan pada bidang analisis kompleks, fisika matematikal, teori probabilitas, geometri dan kombinatorik banyak memberi sumbangsih bagi perkembangan matematika. Sebagai seorang guru yang piawai, minat mengajar dan antusiasme tinggi tidak pernah hilang sampai akhir hayatnya. Semasa di Zurich-pun, karya-karya di bidang matematika sangat beragam dan produktif. Tahun 1918, mengarang makalah tentang deret, teori bilangan, sistem voting dan kombinatorik. Tahun berikutnya, menambah dengan topik-topik seperti astronomi dan probabilitas. Meskipun pikiran sepenuhnya ditumpahkan untuk topik-topik di atas, namun Polya mampu membuat hasil mengesankan pada fungsi-fungsi integral.Tahun 1933, Polya kembali mendapatkan Rockefeller Fellowship dan kali ini dia pergi ke Princeton. Saat di Amerika, Polya diundang oleh Blichfeldt untuk mengunjungi Stanford yang menarik minatnya. Kembali ke Zurich pada tahun 1940, namun situasi di Eropa – menjelang PD II, memaksa Polya kembali ke Amerika. Bekerja di universitas Brown dan Smith College selama 2 tahun, sebelum menerima undangan dari Stanford yang diterimanya dengan senang hati. Sebelum meninggalkan Eropa, Polya sempat mengarang buku How to Solve It yang ditulis dalam bahasa Jerman. Setelah mencoba menawarkan ke berbagai penerbit akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris sebelum diterbitkan oleh Princeton. Buku ini ternyata menjadi buku best seller yang terjual lebih dari 1 juta copy dan kelak dialihbahasakan ke dalam 17 bahasa. Buku ini berisikan metode-metode sistematis guna menemukan solusi atas problem-problem yang dihadapi dan memungkinkan seseorang menemukan pemecahannya sendiri karena memang sudah ada dan dapat dicari.

Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai, sedangkan menurut Utari (1994) dalam (Hamsah 2003) mengatakan bahwa pemecahan masalah dapat berupa menciptakan ide baru, menemukan teknik atau produk baru. Bahkan di dalam pembelajaran matematika, selain pemecahan masalah mempunyai arti khusus, istilah tersebut mempunyai interpretasi yang berbeda, misalnya menyelesaikan soal cerita yang tidak rutin dan mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Polya(1985) mengajukan empat langkah fase penyelesaian masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah dan melakukan pengecekan kembali semua langkah yang telah dikerjakan.

Fase memahami masalah tanpa adanya pemahaman terhadap masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin menyelesaikan masalah tersebut dengan benar, selanjutnya para siswa harus mampu menyusun rencana atau strategi.

Penyelesaian masalah, dalam fase ini sangat tergantung pada pengalaman siswa lebih kreatif dalam menyusun penyelesaian suatu masalah, jika rencana penyelesaian satu masalah telah dibuat baik tertulis maupun tidak. Langkah selanjutnya adalah siswa mampu menyelesaikan masalah, sesuai dengan rencana yang telah disusun dan dianggap tepat. Dan langkah terakhir dari proses penyelesaian masalah menurut Polya adalah melakukan pengecekan atas apa yang dilakukan. Mulai dari fase pertama hingga hingga fase ketiga. Dengan model seperti ini maka kesalahan yang tidak perlu terjadi dapat dikoreksi kembali sehingga siswa dapat menemukan jawaban yang benar-benar sesuai dengan masalah yang diberikan.

Tingkat kesulitan soal pemecahan masalah harus disesuaikan dengan tingkat kemampuan siswa. Hasil penelitian Driscol (1982), pada anak usia 10 sekolah dasar kemampuan pemecahan masalah erat sekali hubungannya dengan pemecahan masalah. Disadari atau tidak setiap hari kita diperhadapkan dengan berbagai masalah yang dalam penyelesaiannya, sering kita diperhadapkan dengan masalah–masalah yang pelik dan tidak bisa diselesaikan dengan segera. Dengan demikian, tugas guru adalah membantu siswa dalam menyelesaikan masalah dengan spektrum yang luas yakni membantu siswa dalam memehami masalah, sehingga kemampuan dalam memahami konteks masalah bisa terus berkembang menggunakan kemampuan inquiri dalam menganalisa alasan mengapa masalah itu muncul. Dalam matematika hal seperti itu biasanya berupa pemecahan masalah yang di dalamnya termuat soal cerita untuk mengembangkan kemampuan siswa. Dalam pemecahan masalah hal yang perlu ditingkatkan adalah kemampuan menyangkut berbagai hal teknik dan strategi pemecah masalah.  Pengetahuan, keterampilan dan pemahaman merupakan elemen–elemen penting dalam belajar matematika.  Terkadang guru menghadapi kesulitan dalam mengajarkan cara menyelesaikan masalah dengan baik. Sementara dipihak lain siswa mengalami kesulitan bagaimana menyelesaikan masalah yang diberikan guru, kesulitan ini muncul, karena mencari jawaban dipandang sebagai satu-satunya tujuan yang ingin dicapai, karena hanya terfokus pada jawaban.

Pemecahan masalah adalah suatu kemampuan berpikir yang menuntut suatu tahapan berpikir. Polya (Schoenfeld, 1980) dalam bukunya How to Solve It pertama kali mengenalkan 4 langkah dalam pemecahan masalah yang disebut Heuristik. Strategi berpikir pemecahan masalah menurut Polya dijadikan sebagai model umum strategi pemecahan masalah. Sementara pengembangannya memuat langkah yang lebih rinci dan spesifik, yaitu Heuristik.
Heuristik adalah suatu langkah-langkah umum yang memandu pemecah masalah dalam menemukan solusi masalah. Berbeda dengan algoritma yang berupa prosedur penyelesaian sesuatu dimana jika prosedur itu digunakan maka akan sampai pada solusi yang benar. Sementara Heuristik tidak menjamin solusi yang tepat, tetapi hanya memandu dalam menemukan solusi. Jika langkah-langkah algoritma harus dilakukan secara berurutan, maka heuristik tidak menuntut langkah berurutan.

Kajian tentang pemecahan masalah dan pembelajarannya tidak dapat dilepaskan dari peran heuristik sebagai strategi dalam proses pemecahan masalah. Membelajarkan pemecahan masalah dapat berarti pula mengajarkan cara berpikir secara heuristik yang memuat langkah lebih rinci. Langkah-langkah itu dapat dipelajari oleh atau diajarkan kepada siswa dalam pembelajaran matematika.
Kemampuan memecahkan masalah dapat ditunjukkan melalui penguasaan terhadap heuristiknya.

1.      Polya menyarankan heuristik, dimana pada heuristik yang terakhir, looking back (Polya 1975) hanya menguji jawab dan menggunakan hasil yang diperoleh untuk menyelesaikan soal lain.Oleh karena pada saat menyelesaikan soal itu mereka sedang termotivasi kemudian senang dengan hasil yang dicapai, maka rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan, dengan memberikan tugas baru kepada siswa, yaitu : “Menyelesaikan soal itu dengan cara yang lain”, “Mengajukan pertanyaan ... bagaimana jika”, “Apa yang salah”, dan “Apa yang akan kamu lakukan”( Krulik dan Rudnick , 1999).Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan juga kekayaan matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman atau apresiasi siswa (disposisi) terhadap matematika. Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya menuntut dan melatih siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta pengalaman yang ada pada mereka.
2.      Mengajukan pertanyaan “...bagaimana jika” sesungguhnya memberi peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi. Soal ini juga dapat merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka harus menganalisisnya. Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin.
3.      “Apa yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah , mengapa salah.
4.       “Apa yang akan kamu lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya.[1]

      B.     ABRAHAM MASLOW TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK

Dalam psikologi terdapat tiga revolusi yang mempengaruhi pemikiran personologi modern. Salah satunya psikologi humanistik, sebuah gerakan yang muncul dengan menampilkan gambaran manusia yang berbeda dengan gambaran manusia dari psikoanalisis dan behaviorisme, yakni berupa gambaran manusia sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat serata selalu bergerak ke arah pengungkjapan segenap potensi yang dimilikinya apabila lingkungan memungkinkan.
Yang menjadi pimpinan atau bapak dari psikolagi humanistik adalah Abraham Maslow. Disamping karena kepemimpinannya , Maslow dihadirkan karena teorinya yang komprehensif, dan sangat jelas mencerminkan teori humanistik mamiliki pengaruh besar terhadap pemikiran modern mengenai tingkah laku manusia.

Abraham Harold Maslow dilahirkan di Brooklyn, New York, pada tanggal 1 April 1908. Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson, bagi Maslow saat itu, behaviorisme merupakan sesuatu yang menarik, dan dengan mengikuti program-program yang diadakan Watson, Maslow berharap dirinya bisa mengubah dunia. Maslow mengawali karir akademis dan profesionalnya dengan memegang jabatan sebagai asisten instruktur psikologi di Universitas Wisconsin (1930-1934), dan sebagai staf pengajar (1934-1935). Kemudian Maslow menjadi staf peneliti di Universitas columbia sampai tahun 1937.di kota ini ia bertemu dengan tokoh-tokoh intelektual Eropa yang melarikan diri ke Amerika Serikat karena penindasan Hitler. Percakapan-percakapan informasi dan pertukaran pengalaman dengantokoh-tokoh tersebut memegang peranan penting dalam pembentukan pemikiran landasan humanistik Maslow. Selaini itu, kehadiran aknya yang pertama telah menghilangkan antusiasme Maslow terhadap behaviorisme. Tingkah laku yang kompleks yang ditunjukan anaknya membuat Maslow berpikir bahwa behaviorisme lebih cocok memahami tikus dari pada manusia.
Pada tahun 1951 Maslow menerima jabatan kapala departemen psikologi Universitas Brandeis, yang dipegangnya sampai tahun 1961. Selama periode ini Maslow menjadi juru bicara utama bagi gerakan psikologi di Amerika Serikat.pada tahun 1969 Maslom meninggalakan Brandeis dan menjadi anggota yayasan W.P. Laughlin di Menlo Park, California. Jabatan non akademis ini mendorong Maslow untuk secara bebas mencurahkan minatnya kepada masalah-masalah filsafat politik dan etika.
Sebagian besar buku-buku Maslow ditulis dalam sepuluh tahun terakhir dari hidupnya, yang meliputi buku-buku Toward a Psychology of Being (1962), Religious and Peak Experiences (1964), Eupsychian Management: A Journal (1965), The Psychology of Science: A Reconnaisance (1966), Motivation and Personality (1970), dan The Father Reaches of Humans natures, sebuah buku kumpulan artikel Maslow yang diterbitkan setahun setelah ia meninggal


1        EKSISTENSIALISME DAN PSIKOLOGI HUMANISTIK
Istilah psikologi humanistik dikenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerja sama dibawah kepemimpinan Maslowdalam mencari alternatif dari dua teori yang sanagat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisa dan behaviorisme. Psikologi humanistik sesungguhnya bukan suatu organisasi tunggal dari teori atau sistem, melainkan lebih tepat jika disebut sebagai gerakan. Maslow sendiri menyebut psikologi humanistik yang dipimpinnya sebagai “kekeuatan ketiga” (a third force). Dan meskipun tokoh-tokoh gerakan ini memiliki pandanagan yang berbeda-beda, tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia, yang berkarakter pada salah satu aliran filsafat modern, yakni eksistensialisme.
Eksistensialisme dengan sejumlah tokohnya adalah sebuah aliran filsafat yang mempersalahkan manusia sebagai problema yang unik dengan keberadaannya. Manusia menurut eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam-dunia (being-in-the-word), dan menyadari penuh akan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya, para dilusuf eksistensialisme percaya bahwa setiap individu bebas untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud dari keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya itu.
Oleh karena itu eksistensialisme menarik bagi para psikologi humanistik. Para ahli psikologi humanistik pun menekan bahwa individu adlaah penentu bagi tingkah laku dan pengalamannya sendiri. Manusia adlah agen yang sadar, bebas memilih atau menentukan setiap tindakannya.
Konsep penting lainnya yang diambil oleh psikologi humanistik dari eksistensialisme iru adalah konsep kemenjadian (becoming). Menurut konsep ini, manusia tidak pernah diam, tetapi selalu dalam proses untuk menjadi sesuatu yang lain dari sebelumnya. Tetapi bagaimanapun, perubahan itu terjadi apabila lingkungan memungkinkan. Dengan menempatkan nilai yang tinggi pada kemenjadian, para ahli psikologi humanistik mengingatkan bahwa pencapaian kehidupan yang penuh dan memuaskan itu tidaklah mudah. Kesulitan itu terutama dialami individu-individu akibat adanya perubahan dan hambatan kultural. Eksistensialisme dan psikologi humanistik melihat kesulitan yang demikiansebagai tantangan bagi kita untuk bertindak dengan cara yang sejati dalam arti, bahwa kita harus membuat pilihan-pilihan tanpa mengabaikan potensi atau kemungkinan-kemungkinan yang kita miliki.

2        AJARAN-AJARAN DASAR PSIKOLOGI HUMANISTIK
a.         Individu Sebagai Keseluruhan Yang Integral
Salah satu aspek yang fundamental dari psikologi humanistik adalah ajarannnya bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas dan terorganisasi. Berbeda dengan behaviorisme maupun teori atau aliran lain yang elementalistik Maslow mengembangkan teorinya dengan bertumpu pada prinsip holistik, suatu prinsip yang berasal dari psikologi gestalt. Dalam teori Maslow dengan prinsip holostiknya itu, motivasi mempengaruhi individu secara keseluruhan, dan bukan secara bagian.
b.         Ketidakrelevanan Penyelidikan dengan Hewan
Psikologi humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara tingkah laku manusia dan tingkah laku hewan. Ini bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan tingkah laku hewan dalam upaya memahami tingkah laku manusia. Maslow dan para teoris kepribadian humanistik umumnya memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan apapun. Maslow menegaskan bahwa penyelidikan dengan hewan tdak relevan bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal itu mengabaikan ciri-ciri khas manusia seperti adanya gagasan, rasa malu, cinta, nilai, humor, dan sebagainya, yang dengan ciri-ciri tersebut manusia bisa menciptakan puisi, musik, pengetahuan, pekerjaan dan lain-lain. Dan yang paling berarti dari perspektif humanistik tentang usaha memahami manusia itu adalah fakta bahwa tidak ada ahli kepribadian tikus, merpati, kera, atau lumba-lumba. Yang ada adalah ahli kepribadian manusia, dan hanya manusialah yang petut dijadikan subjek pemahaman tingkah laku manusia.
c.         Pembawaan Baik Manusia
Psikologi humanistik memiliki anggapan, bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, atau tepetnya netral. Menurut perspektif humanistik, kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil dari lingkungan buruk, dan bukan bawaan.
d.        Potensi Kreatif Manusia
Pengutamaan kreatifitas manusia merupakan salah satu prinsip yang penting dari psikologi humanistik. Maslow menemukan bahwa pada orang-orang yang ditelitinya itu terdapat satu ciri yang umum,yakni kreatif. Maslow juga menemukan bahwa kebanyakan orang yang kehilangan kreatifitasnya akan menjadikan mereka “tak berbudaya”. Maslow  mengingatkan bahwa untuk menjadi kreatif seseorang itu tidak perlu memiliki bakat atau kemampuan khusus. Menurut Maslow, kreatifitas itu tidak lain adalah kekuatan yang mengarahkan manusia kepada pengekspresian dirinya.
e.         Penekanan pada Kesehatan Psikologis
Maslow secar konsisten beranggapan bahwa tidak ada satupun pendekatan psikologis yang mempelajari manusia dengan bertumpu pada fungsi-fungsi manusia seperti cara dan tujuan hidupnya yang sehat. Psikologi humanistik memandang self-fulfillment sebagai tema yang utama dalam hidup manusia, suatu tema yang tidak akan ditemukan pada teori-teori lain yang berlandaskan studi atas individu-individu yang mengalami gangguan.
3.      TEORI KEBUTUHAN BERTINGKAT
Maslow (1970) menggambarkan manusia sebagai makhluk yang tidak pernah berada dalam keadaan sepenuhnya puas. Bagi manusia, kepuasan itu sifatnya sementara. Jika suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka kebutuhan-kebutuhan yang lainnya akan muncul menuntut pemuasan, begitu seterusnya. Berdasarkan ciri yang demikian, Maslow mengajukan gagasan bahwa kebutuhan pada manusia merupakan bawaan, tersusun menurut tingkatan atau bertingkat. Oleh Maslow kebutuhan yang bertingkat itu dirinci kedalam lima tngkat kebutuhan, yakni:
a.         Kebutuhan-kebutuhan dasar fisiologis
b.         Kebutuhan akan rasa aman
c.         Kebutuhan akan cinta dan memiliki
d.        Kebutuhan akan rasa arga diri
e.         Kebutuhan akan aktualisasi diri
Dalam pandangan Maslow, susunan kebutuhan-kebutuhan dasar yang bertingkat itu merupakan organisasi yang mendasari motivasi manusia. Semakin individu itu mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang tinggi, maka individu itu akan semakin mampu mencapai individualitas, matang dan berjiwa sehat. Secara umum kebutuhan yang lebih rendah pemuasannya lebih mendesak dari pada kebutuhan yang lebih tinggi.
4.      MOTIF KEKURANGAN DAN MOTIF PERTUBUHAN
Maslow (1955) membagi motif-motif anusia kedalam dua kategori, yakni motif kekurangan (deficit motive) dan motif pertumbuhan (growth motive). Motif kekurangan menyangkut kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Sasaran utama dari motif-motif kekurangan adalah mengatasi peningkatan tekanan organismik yang dihasilkan oleh keadaan kekurangan. Ciri-ciri dari motif kekurangan adalah:
a.         Ketiadaan pemuasnya membuat sakit
b.         Adanya atau kehadiran pemuasnya mencegah sakit
c.         Perbaikan atau pengadaan pemuasnya menyembuhkan sakit
d.        Dibawah kondisi memilih, pemenuhan motif kekurangan akan diutamakan
e.         Motif-motif kekurangan tidak begitu dominan pada orang sehat
Motif-mitif pertumbuhan (oleh Maslow disebut juga metaneeds atau being motives) adalah motif-motif yang mendorong individu untuk mengutamakan potensi-potensinya. Arah dari motif pertumbuhan ini adalah memperkaya kehidupan dengan memperbanyak belajar dan pengalaman, juga memberi semangat hidup.
Maslow (1967) mengemukakan bahwa motif-motif pertumbuhan pada manusia adalah naluriah dan inheran. Motif-motif pertumbuhan juga harus dipuaskan apabila kesehatan psikologis ingin terpelihara dan perkembangan maksimal ingin tercapai. Jika tidak terpuaskan, maka individu akan “sakit” secara psikologis. “Penyakit” yang muncul akibat tidak terpuaskannya mitif-motif pertumbuhan oleh Maslow disebut metapatologi. Dibawah ini adalah tabel dari motif-motif pertumbuhan dan bentuk-bentuk metapatologi yang mungkin muncul.
Motif pertumbuhan
Metapatologi
-          Kebenaran
-          Kehilangan kepercayaan, sinisme, skeptisisme
-          Keindahan
-          Kekasaran, kehilangan rasa keindahan, kesuraman
-          Keunikan
-          Kehilangan rasa percaya diri dan individualiatas
-          Kesempurnaan
-          Ketidakberdayaan, kekacauan, ketidakterkendalian
-          Keadilan
-          Ketidakadilan, egosentrisme, sinisme
-          Semangat
-          Kehilangan semangat hidup, depresi
-          Kebajikan
-          Kebencian, kejijikan, pementingan diri sendiri
-          Kesederhanaan
-          Keruwetan, kebingungan, kekalapan, kehilangan orientasi

5.         VALIDITASI EMPIRIS ATAS TEORI KEPRIBADIAN MASLOW
Sebagaimana yang dialami oleh psikoanalisa dan behaviorisme, teori kepribadian humanistik, khususnya teori kepribadian Maslow, tidak luput dari berbagai kritik. Dari pihak behaviorisme muncul serangan terhadap psikologi humanistik sehubungan dengan penggunaan konsep-konsep yang menurut para behaviors, tidak jelas dan sulit diperiksa validitasnya secara empiris. Khususnya terhadap teori Maslow, para behavioris itu mempersoalkan konsep pengalaman subjektif berikut pengambilan data yang menyertainya, yakni metode intropeksi. Mereka meyebut metode intropeksi yang digunakan oleh Maslow sebagai metode yang lemah dari sudut metodologi ilmiah yang objektif. Tetapi berdasarkan prinsipnya bahwa pengalaman subjektif itu merupakan data yang lebih penting dari pada tingkah laku yang nampak, Maslow mempertahankan metode intropeksi sebagai suatu metode yang layak digunakan dalam psikologi. Menurut Maslow, seorang ahli psikologi kepribadian tidak akan bisa mendukung dan mempercyai kegunaan metode intropeksi untuk memahami tingkah laku individu sebelum dia berpikir dan percaya bahwa indiviu itu membuat laporan mengenai tingkah lakunya secara sadar dan rasional.
Bagaimanapaun kritik-kritik yang diterimanya, teori Maslow tetap memperoleh perhatian empiris. Hal ini terbukti dari adanya beberapa usaha untuk menguji beberapa konsep dari teori maslow.
Usaha-usaha untuk menguji dan membuktikan teori Maslow terutama dipusatkan pada dua konsep, yakni konsep kebutuhan bertingkat dan konsep aktualisasi diri. Perhatian dan usaha empiris hanya ditunjukan kepada dua konsep tersebut karena keduanya telah memberi sumbangan yang besar terhadapa psikologi dan teori kepribadian.
a.         Pengujian Atas Konsep Kebutuhan Bertingkat
Konsep Maslow mengenai kebutuhan bertingkat telah memperleh perhatian yang besar dalam penulisan-penulisan teoritis dan terapan. Banyak studi yang telah dilakukan yang meliputi pengukuran kebutuhan-kebutuhan dan dijabarkan oleh Maslow, tetapi sebagian besar peneliti yang berpegang pada validitas teori, menggunakan pengukuran hanya untuk menguji soal-soal lain.
Dengan sedikit pengecualian, dukungan empiris bagi konsep kebutuhan bertingkat Maslow itu datang dari studi mengenai kebutuhan-kebutuhan fisiologis dan kebutuhan akan rasa aman. Dukungan lain bagi validitas konsep kebutuhan Maslow itu datang dari penelitian organisasional. Sebagai gambaran, Poter (1961) menemukan bahwa pimpinan perusahaan tingkat tinggi lebih memperhatikan pemuasan kebutuhan akan rasa harga diri dan kebutuhan akan aktualisasi diri daripada manajer-manajer tingkat rendah.
Dal suatu pengujian empiris atas konsep kebutuhan bertingkat dari Maslow, Graham dan Baloun (1973) mengajukan dua hipotesis. Hipotesis pertama menyatakan bahwa taraf kepuasan suatu kebutuhan memiliki korelasi yang negatif dengan keinginan untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Hipotesis kedua adalah pada dua kebutuhan yang berbeda tingkatannya, dorongan pemuasan kebutuhan yang lebih rendah akan lebih besar daripada dorongan pemuasan kebutuhan yang lebih tinggi. Kedua hipotesis tersebut diuji melalui pengambilan dan pengolahan data yang melibatkan subjek penelitian sebanyak 37 orang. Hasilnya adalah kedua hipotesis yang diajukan diterima, dan dengan demikian dua aspek yang terdapat pada konsep kebutuhan bertingkat Maslow terdukung secara empiris. Dua aspek yang dimaksud adalah:
a.         Apabila suatu kebutuhan telah terpuaskan, maka individu pada saat tersebut tidak akan berusaha untuk meneruskan pemuasannya, malainkan akan lebih berusaha memuaskan kebutuhan lain yang lebih tinggi.
b.        Kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah pemuasannya lebih mendesak dan akan didahulukan oleh individu daripada kebutuhan yang lebih tinggi (individu akan mendahulukan membeli makanan daripada membeli baju)
b.         Pengukuran dan Alat Ukur Aktualisasi Diri
Dalam studinya Maslow menguji ciri-ciri aktualisasi pada 49 orang terkemuka yang ia anggap sebagai pribadi-pribadi yang ideal menurut batasan kesehatan psikologis. Individu-individu yang dipelajari oleh Maslow diambil dan diseleksi dari sejumlah orang yang terkemuka baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, juga dari kalangan mahasiswa. Mereka, menurut Maslow, adalah orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang penuh, dan karenanya mereka mampu mencapai kematangan yang sejati. Lebih dari itu, orang-orang yang menjadi subjek penelitiannya itu tidak menunjukan kearah neurotik, psikotik, dan gangguan-gangguan psikologis lainnya. Maslow membenarkan metode pemilihan subjeknya yang oleh sementara peneliti dianggap lemah, dengan mengatakan:
“jika kita ingin memperoleh jawaban atau pertanyaan sampai seberapa tinggi manusia bisa tumbuh, maka kita tentunya harus mengambil dan mengukur orang yang paling tinggi. Jika kita ingin mengetahui sampai seberapa cepat manusia bisa berlari, maka sebaiknya kita mengambil pelari pemenang mendali emas Olimpiade untuk kita sellidiki. Jika kita ingin mengetahui kemungkinan-kemungkinan dari pertumuhan spiritual, pertumbuhan nilai, dan perkembangan moral pada manusia, maka jalan yang terbaik bagi kita adalah mempelajari orang-orang yang paling beretika, paling bermoral atau orang-orang suci.”
(Maslow, 1969)
Berpegang pada rasionalisasi diatas, Maslow melaksanakan studinya lebih disandarkan kepada observasi ketimbang pengujian hipotesis sehingga studi atau penelitian Maslow itu bersifat subjektif.
Maslow membagi subjek-subjek yang telah dipelajarinya kedalam tiga kategori yakni, fairly sure cases, partial cases, dan potential or possible cases.
Kekurangan alat yang memadai untuk mengukur aktualisasi diri pada mulanya menghalangi usaha-usaha untuk mengukur dan mengesahkan pertanyaan-pertanyaan Maslow mengenai aktualisasi diri.tetapi dengan dikembangkanya Personal Orientation Inventory (POI) oleh Shostrom, sebagai pengukur aktualisasi diri yang sahih (valid) dan andal (reliabel), penelitian empiris atas konsep aktualisasi diri dari Maslow itu semakin meningkat.
6.         PENERAPAN AKTUALISASI DIRI SEBAGAI CORAK HIDUP IDEAL
Ciri-ciri orang yang self-actualized menurut Maslow diantaranya:
a.         Mengamati realitas secara efisien
b.         Penerimaan atas diri sendiri, orang lain, dan kodrat
c.         Spontan, sederhana dan wajar
d.        Terpusat pada masalah
e.         Pemisahan diri dan kebutuhan privasi
f.          Kemandirian dari kebudayaan dan lingkungan
g.         Kesegaran dan apresiasi
h.         Pengalaman puncak atau pengalaman mistik
i.           Minat sosial
j.           Hubungan antarpribadi
k.         Berkarakter demokratis
l.           Perbedaan antara cara dan tujuan
m.       Rasa humor yang filosofis
n.         Kreativitas
o.         Penolakan enkulturasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar